Saturday, March 3, 2007

Fantas, bukan milik lajang 40-an

Dalam ilmu psikologi, fantasi atau khayalan diartikan sebagai mimpi sehari-hari. Bentuknya bisa khayalan, impian yang tidak biasa, atau malah pikiran yang dipenuhi harapan. Pendeknya, fantasi bukanlah kenyataan, karena hanya ada dalam alam pikiran.

Fantasi kita saat ini adalah peninggalan masa kanak-kanak. Di masa itu khayalan kita terbentuk melalui cerita-cerita dongeng, film, dan segala macam hal yang sifatnya fiksi. Para psikolog meyakini, anak yang tinggi imajinasinya, tinggi pula kreativitasnya di masa datang.

Jika orang dewasa masih berfantasi, alasannya sungguh berbeda dibandingkan dengan khayalan di masa kecil-nya. “Karena ada gap antara realitas dan non-realitas,” papar Ira Petranto, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia. “Antara yang dibayangkan dengan kenyataannya, ternyata berbeda. Mereka menemukan realisasinya dalam fantasi-fantasi mereka.”

Bisa jadi, seseorang mungkin kepingin sesuatu, tapi kenyataan yang ditemui sehari-hari telah menghambatnya. Inginnya sih sukses, tapi dalam praktiknya selalu menemui hambatan. Maunya tinggi, adanya rendah. Senangnya hijau, faktanya gersang. Begitu seterusnya.

Dalam alam fantasi, orang dewasa menemukan kebebasannya. Bebas menjadi apa yang mereka mau atau melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan di alam nyata. Walau mereka tidak semua larut dalam imajinasinya atau sengaja menjauhkan diri dari alam khayali, agar tidak dicap sebagai pemimpi. Malah pada orang tertentu, kemampuan ini sudah tidak tajam lagi.

Ketika fantasi masuk ke wilayah seksual, ceritanya jadi lain. Ternyata tak sedikit orang yang menjadikan kegiatan ini sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka. Pada tingkat yang rendah dan aman, misalnya, seseorang pegawai di kantor tertarik pada rekan kerja lawan jenisnya dan berfantasi melakukan hubungan seksual dengannya. Atau sekadar berfantasi soal variasi dalam hubungan seksual bersama pasangannya.

Pada tingkat yang lebih “gawat”, seseorang mungkin berangan-angan melakukan tindakan nekat dalam kehidupan seksual mereka. Seperti bercinta dengan istri sekaligus dengan sesama jenisnya. Melakukan hubungan seksual di tengah keramaian sebuah mal. Atau melakukannya dibarengi dengan kekerasan. Siapa yang tahu?

Ya, tentu tidak ada yang tahu, karena fantasi sesungguhnya adatah keinginan terdalam. Ira meyakini, tidak ada orang yang mau mengungkapkan impian-impiannya kepada siapa pun, termasuk kepada pasangannya sekalipun.

Seseorang mungkin saja berbagi cerita kepada temannya bahwa dia baru saja bereksperimen dengan posisi posisi baru di saat berhubungan seksual. Mungkin juga dia mengaku baru saja berselingkuh. "Tapi kalau soal fantasi, kepada siapa pun dia tidak akan membagi nya,” jelasnya.

BUKAN MILIK LAJANG 40-AN

Ira Petranto mengungkapkan sebuah “rahasia besar”, yaitu bahwa semua orang sesungguhnya berfantasi. Tidak terbatas pada wanita atau pria saja. Tapi orang tidak mengungkapkannya karena tidak ingin menanggung risiko. Takut ditertawakan orang, dihakimi, atau malah dikucilkan dari lingkungannya.

Fantasi juga merupakan jalan yang aman. Mudah karena tinggal menggerakkan otak, murah, dan sederhana. Tidak juga harus menanggung risiko seperti tertular penyakit kelamin atau tertangkap Hansip dan diarak ke rumah Pak RT. “Fantasi juga menjaga moralitas seseorang,” kata Ira menyimpulkan. “Karena semua cukup terjadi di pikiran saja.”

Meski mungkin rasanya sedikit memalukan, fantasi sesungguhnya bukan sesuatu yang buruk. Dengan berfantasi, bukan berarti kita kurang pekerjaan atau sekadar khayalan orang yang rumah tangganya tidak bahagia. Bukan juga milik kaum lajang yang tidak kunjung bertemu pasangan meski usia hampir 40-an tahun.

Pasangan yang sudah pu uhan tahun menikah dan berbahagia tetap membutuhkan fantasi agar kehidupan seksualnya tetap hangat. “Seseorang tetap perlu berkhayal agar ia tahu apa yang dimauinya,” kata penulis buku perkawinan It Takes Only One to Stop The Tango ini. Mungkin pola hubungan tertentu, sikap dan pemikiran tertentu, atau malah posisi posisi tertentu saat bercinta di ranjang.

Alangkah baik jika keinginan-keinginan dalam fantasi itu kemudian dibicarakan dengan pasangan. Dengan sikap terbuka, pasangan juga harus mendengarkannya. Jika menyangkut kehidupan seksual, mungkin ada hal-hal bisa dicoba, sejauh dilakukan dengan kesepakatan bersama. “Karena kehidupan seksual merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari pasangan itu. Tidak ada yang instan, inginnya memperbaiki hubungan seksual tapi tidak memperbaiki hubungan,” Ira memaparkan.

Jika keinginan salah satu dan pasangan tidak terpenuhi, atau sengaja dipendam, sesorang justru akan semakin aktif berfantasi. Semakin banyak keluhan yang ada dalam pikirannya, Semakin maksimal pula kenikmatan yang didapatkannya lewat berfantasi. Maka bisa dikatakan fantasi merupakan cara efektif melampiaskan ketidakpuasan.

Yang perlu disadari, lanjut Ira, fantasi seseorang mungkin cerminan dari keinginan hal-hal terdekatnya. Pria bernama A yang tertarik pada wanita bernama C (rekan kerjanya di kantor), bisa jadi A hanya mengagumi wajah cantik, sopan, wangi, atau kepandaian dari C. Pasangannya di rumah harus diberi tahu soal keinginan-keinginan itu. Padahal, kalau A akhirnya menikahi C, belum tentu dia menemukan apa yang ada dalam fantasinya.

MENYEBUT MANTAN PACAR

Dalam perjalanannya, fantasi seksual bisa melenceng di luar keinginan atau malah cenderung “liar”. Memang sulit menyetir angan-angan seseorang, tapi ternyata hal itu menjadi masalah tatkala fantasi mengganggu kehidupannya. “Biasanya kalau masalah itu sudah berat, mereka membutuhkan bantuan pihak luar,” tutur Ira yang membuka klinik konsultasi di Jakarta dan di internet.

Kategori berat misalnya, keinginan bercinta dengan sesama jenis, padahal sudah berkeluarga. Keinginan bercinta bertiga atau threesome. Ada juga keluhan yang rada aneh, yaitu seseorang menyebut nama mantan pacar di saat bercinta. Masih banyak Jagi fantasi yang "seram-seram” dan dijamin kita tidak bakal tega membayangkannya.

Keinginan berhubungan dengan sesama jenis tercatat paling banyak dikeluhkan. Biasanya, klien macam ini punya kecenderungan homoseksual atau biseksual. Untuk kasus seperti ini, Ira biasanya menyarankan untuk memilih mana yang jadi keinginan klien. Tidak mungkin langsung membicarakannya dengan pasangan, kecuali jika niatnya memang ingin bercerai.

Bahayanya, fantasi nakal bakal jadi kenyataan, di saat seseorang berada dekat dengan realitasnya. “Ini seharusnya dihindari,” tegas Ira. Seorang direktur yang berfantasi bisa bermain cinta dengan sekretarisnya yang bahenol, kemungkinan realisasinya lebih besar. Apalagi jika ada kesempatan mereka selalu berduaan, direktur menggunakan kekuasaannya, dan (yang terpenting!) si sekretaris menyambut keinginan itu.

Dari kategori fantasi liar, fantasi seorang pria kepala rumah tangga yang ingin menyetubuhi sesama jenis, bakal benar-benar terjadi jika dia tinggal serumah dengan keponakan lelakinya yang tidak berdaya. “Di sini rawan sekali terjadi tindakan kekerasan berupa pemerkosaan. Karena itu jika keinginan itu mulai mengganggu, segera minta bantuan orang lain,” tutur pengajar di Universitas Tarumanegara, Jakarta, ini.

Fantasi memang bisa menggairahkan, tapi bisa mencelakakan. Tergantung bagaimana kita memainkannya. Betul?

No comments: